Halaman

Senin, 06 Agustus 2012

RENUNGAN RAMADHAN: Nuzulul Quran (Seri Kedua)

ADA yang bilang, yang merekomendasikan 17 Ramadhan sebagai hari turunnya Alquran itu Agus Salim atas restu Bung Karno. Rujukannya: “…jika kamu beriman padaKu & pada sesuatu yang Kami turunkan padamu pada hari yang menentukan, yaitu hari [ketika] dua pasukan bertemu.”

Ibn Katsir menafsir hari yang menentukan itu adalah saat Perang Badar dimulai. Dari sejumlah referensi, perang tersebut terjadi Jumat 17 Ramadan, sama dengan proklamasi kemerdekaan yang jatuh pada Ramadhan 1364, meski tanggalnya bukan 17, melainkan 8 Ramadhan.

Perang Badar disebut sebagai hari yang menentukan karena pada perang itulah ditentukan nasib Muhammad. Itu adalah debut perang Muhammad yang berakhir dengan kemenangannya. Andai dalam perang itu Muhammad kalah, pupuslah sudah nilai-nilai yang ingin ditegakkan.

Saya tidak ingin mencari tahu apakah rekomendasi Salim tersebut sudah sahih, atau ada kepentingan politis-ideologis dan mungkin juga kompromistis, yang kemudian melandasi Bung Karno memberi persetujuan sekaligus melegitimasi hari turunnya Alquran rekomendasi Salim.

Yang pasti, rekomendasi Salim itu berangkat dari interpretasi atas fakta historis. Dengan kata lain, penetapan hari tersebut, juga penetapan hal lain seperti tanggal lahir Muhammad, kelahiran Jesus, dan seterusnya, bisa dikenai apa yang disebut sebagai kritik historis.

Persoalannya kemudian, meski tetap penting karena sering membantu menjelaskan pelbagai pertanyaan, fakta historis yang bisa dikenai kritik dengan berbagai macam metode itu pada akhirnya acap menjadi tidak terlalu relevan bagi iman.

Bahkan mungkin, energi beriman datang tidak dari terbukti atau tidak terbuktinya fakta historis itu. Sebab lebih jauh dari itu, energi untuk beriman sudah merupakan bawaan lahir, sudah fitrah, akibat perjanjian primordial setiap manusia dengan Tuhan.

Tidak mudah menjelaskan konsep ini secara lebih gamblang. Tapi kita bisa memulainya dengan melihat sejarah Tuhan dalam peradaban. Kita boleh mengingat 'telah kutiupkan ruh kepadamu’, atau konfirmasi Sigmund Freud akan adanya kerinduan bawah sadar kita pada ‘sang peniup itu’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar